Puluhan juta kilogram pohon bakau telah dibakar menjadi arang pada 2022 di Kabupaten Kubu Raya, wilayah hutan mangrove terbesar di Kalimantan Barat yang tengah berupaya menjadi pusat mangrove dunia. Menurut sebuah penelitian, aktivitas tungku arang di Desa Batu Ampar yang telah ada sebelum 1945 itu akan 'menghilangkan' hutan yang menjadi rumah bagi spesies langka. Hutan dan hewan hewan yang berada di dalamnya terancam punah dalam puluhan tahun mendatang, jika tidak ada intervensi dari pemerintah. Aktivitas arang yang mayoritas disebut diekspor ke China, Korea Selatan, Jepang, dan Eropa itu menimbulkan laju deforestasi sekitar 486 hektare per tahun dalam belasan tahun terakhir, dengan total kerusakan mencapai lebih dari 7.000 hektare.

Padahal, setiap hektare ekosistem karbon biru seperti mangrove, disebut memiliki nilai ekonomi lebih dari Rp1,35 miliar (US$90.000) atas jasanya kepada lingkungan, industri hingga ekowisata. Hutan mangrove Indonesia adalah yang terluas di dunia mencapai 3,36 juta hektare dan menyimpan potensi hingga Rp2.400 triliun dari perdagangan karbon. Namun, dalam 20 tahun terakhir, hampir 13.000 hektare mangrove hilang setiap tahunnya, lebih luas dari Kota Pontianak. Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau dan Anindita Pradana mendatangi Desa Batu Ampar pada Juni lalu untuk melaporkan kehidupan masyarakat tungku arang yang mengaku berada di persimpangan dilema antara lingkungan, 'kebutuhan perut dan minimnya lapangan pekerjaan'.

Desa Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, terletak di muara bengawan terpanjang Kalimantan, Sungai Kapuas. Untuk menuju desa ini, satu satunya alat transportasi adalah kapal. Di sepanjang perjalanan menyusuri sungai yang dulu pernah menjadi salah satu pusat pintu keluar bongkahan kayu dari pedalaman hutan Kalimantan, pohon pohon nipah menjadi pagar pembatas antara daratan dan perairan. Diskominfo Kota Kupang Sosialisasikan Literasi di Kalangan Pelajar

KIP Simeulue Sosialisasi Cara Pemungutan dan Perhitungan Suara Julian Alvarez Ukir Brace, Beri Komentar Saat Haaland Comeback setelah Absen 5 Laga Jajaran KIP Bireuen Tuntaskan Pengepakan Kertas Suara

PMKRI Kefamenanu Dampingi Masyarakat Datangi Polres TTU Tanyakan Kasus Korupsi Dana Desa Hilang Sehari, Bocah Usia 4 Tahun di Purworejo Ditemukan dalam Kondisi Sehat di Hutan Jakarta Sengit, Cek 3 Survei Elektabilitas Pilpres 2024 Terbaru, Terjawab Capres Terkuat di Ibu Kota Halaman 4

Satu jam terlewati, hamparan pohon mangrove menyambut kami tiba di Desa Batu Ampar. Barisan tungku arang dari tanah liat di antara rumah penduduk dan bau asap pembakaran yang menyengat hidung menemani perjalanan menuju rumah seorang pemilik tungku arang. Beberapa orang terlihat tengah memasukkan arang ke dalam karung, dan yang lain melempar kayu ke perapian untuk menjaga api tungku tetap membara.

Di pinggir sungai, ratusan batang kayu bakau tergeletak berantakan di antara deretan rumah panggung warga dan sampan yang bersandar. Menurut penelitian proyek Governor Climate and Forest Task Force (GCF TF) Window B Project yang merupakan hasil kerja sama antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH) dan tim peneliti dari Institut Pertanian Bogor, terdapat sekitar 490 tungku arang yang beroperasi di Batu Ampar pada tahun 2022 jumlahnya mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2000 yang berkisar 90 unit. Arang mangrove kini menjadi penghidupan utama masyarakat di empat kecamatan pesisir Kubu Raya, yaitu Kakap, Teluk Pakedai, Kubu dan Batu Ampar, yang disebut warga lokal sebagai petani arang.

Penelitian itu mencatat, aktivitas arang telah berlangsung sejak tahun 1909, sebelum Indonesia merdeka. Jejak usaha arang juga telah tercatat sejak 1949 dengan keluarnya izin produksi arang mangrove. Di masyarakat, ada beragam cerita tentang asal muasal tungku arang di Batu Ampar. Kami bertemu Nurhadi, 68 tahun, generasi ketiga yang mengantungkan hidup pada tungku arang. "Datuk [kakek] saya pernah cerita kalau dia belajar dari orang China cara pembakaran arang, mereka datang lewat jalur rempah. Lalu yang lain belajar dari datuk saya," katanya.

Kabid Perekonomian SDA dan Infrastruktur Bapeda Kubu Raya, Herbimo Utoyo mengatakan, usaha arang tidak menjadi pilihan utama masyarakat pada awalnya. Herbimo menyebut, keberadaan Kubu Raya di muara sungai Kapuas menyebabkan banyak warga pesisir memilih bekerja di industri kayu pada era 1980 an, namun 'kenikmatan' itu mengalami kejatuhan pada awal 2000 an. "Masyarakat eks buruh itu hanya memiliki keahlian menebang dan mengelola kayu. Mereka tidak punya pilihan lain hingga akhirnya banyak beralih profesi menjadi penebang kayu mangrove untuk arang hingga saat ini," katanya.

Di balik aktivitas tungku arang itu, hutan mangrove di Kubu Raya memiliki luas 132.887 hektare, dari total 175.288 hektare di Kalimantan Barat, menurut data Bappeda Litbang Kubu Raya. Di dalamnya, terdapat 67 spesies atau 33% jenis mangrove dari total 202 ragam di Indonesia, bahkan 47% dari 150 jenis di Kalimantan. Hutan mangrove terluas dan terlengkap di Kalimantan Barat disebut berada di Desa Batu Ampar.

Di tengah keanekaragaman itu, terdapat satu spesies mangrove langka dan terancam punah ( critically endangered ), yaitu Tumuk Putih atau Berus Mata Buaya ( Bruguiera Hainsesii ). Selain itu, hutan mangrove itu juga menjadi habitat bagi fauna langka, seperti bekantan yang statusnya kini terancam punah ( endangered ) dalam daftar merah IUCN, pesut air payau, dan beruang madu. Berjarak 20 meter dari depan rumah panggungnya, pemilik tungku arang, Nurhadi, mengajak kami melihat dua tungku arang miliknya yang dapat "berapi" selama tujuh kali dalam setahun.

Dia bercerita, untuk menghasilkan tiga ton arang dibutuhkan sekitar 12 ton kayu (sembilan ton untuk arang dan tiga ton sebagai bahan bakar) dengan proses 40 hari. Setiap bongkah kayu bakau yang dibakar, Nurhadi mengaku membeli dari para penebang seharga Rp450.000 per kapal yang memuat sekitar dua ton kayu. Dia juga mengupah beberapa pekerja lain untuk menyusun kayu dalam tungku, menjaga proses pembakaran hingga pengemasan dalam karung.

"Kalau hasil arangnya di bawah tiga ton, kami pasti tekor. Tungku ini rugi Rp1 juta," ujar Nurhadi yang menyebut satu tungku arang mampu menyerap sekitar 20 pekerja lokal. Penelitian Window B Project menunjukkan, satu tungku menyediakan sekitar 50 jenis pekerjaan yang menyerap banyak pekerja dan memiliki 23 rantai pasok bisnis yang disebut cukup 'rumit'. Nurhadi lalu mengundang kami ke rumahnya dan menyuguhkan air minum, sebagai budaya penerimaan tamu.

Dia lalu bertanya, apakah di sepanjang jalan ke Batu Ampar Anda melihat hutan mangrove yang rusak? Itu karena, lanjutnya, setiap penebang menerapkan kearifan lokal, yaitu tebang pilih ( selective cutting ). Pohon mangrove yang ditebang, katanya, hanyalah berjenis Rhizophora apiculate yang berdiameter 15 30 sentimeter, dan berjarak 20 meter masuk ke dalam hutan dari pinggir sungai. "Tungku arang ini dari zaman datuk [kakek] saya. Kalau hutan habis [karena arang] pasti sudah habis sekarang, tapi ini masih ada. Hutan yang kita tebang tahun 2010, sekarang sudah tumbuh dan besar besar," kata Nurhadi yang sadar bahwa sumber kayu arang miliknya ada juga yang berasal dari hutan lindung.

Menurutnya, mangrove akan hidup secara alami tanpa bantuan manusia jika diambil secara tebang pilih, bukan dengan pembersihan lahan ( land clearing ) seperti yang dilakukan perusahaan. "Kalau ada program penanaman dari pemerintah itu sebenarnya hanya menghabiskan uang negara saja, karena bakau dapat tumbuh secara alami dengan proses dari alam," katanya. Untuk melihat klaim tebang pilih itu, kami pun mendatangi aktivitas beberapa warga lokal yang sedang menebang kayu bakau di tengah hutan mangrove.

Dengan menggunakan perahu kelotok, kami menyusuri sungai sekitar satu jam menuju area hutan mangrove yang berada di utara dari Batu Ampar, masuk dalam kawasan hutan lindung. Di sepanjang pinggir sungai, pohon nipah dan mangrove memagari daratan. Tidak terlihat ada bekas bekas area penebangan. Saat menjelajah lebih dalam ke hutan dengan melewati sungai kecil, terdengar suara gergaji mesin ( chainsaw ).

Kami lalu melihat sebuah perahu berisi potongan kayu bakau yang tengah bersandar dan beberapa pekerja sedang menebang. Di tengah hutan mangrove itu, terlihat puluhan hingga ratusan pohon bakau yang telah ditebang menyisakan akar akar yang perlahan membusuk. Berdasarkan pandangan kami, wilayah kerusakan sekitar 50 an meter persegi untuk setiap lokasi penebangan yang menyebar di banyak tempat.

"Kalau di sini pohonnya sudah tidak ada yang sesuai kriteria, maka kami pindah. Pohon pohon mangrove yang besar besar ini tidak kami potong, hanya yang sedang sedang saja," kata seorang penebang yang menolak disebutkan namanya karena dia beroperasi di area hutan lindung. Di tengah aktivitasnya, pekerja itu mengaku ingin berhenti dari pekerjaannya, namun dia tidak bisa. "Ada [penebang] yang meninggal karena tertimpa kayu dan terluka karena chainsaw , belum lagi kalau ditangkap aparat. Resikonya besar sekali, tapi anak anak saya butuh makan, apa boleh buat," ujarnya.

Selain itu, dia juga menyadari apa yang dilakukan merupakan tindakan ilegal karena mengambil kayu dari hutan lindung. Apa yang diungkap masyarakat itu berbeda dengan hasil Penelitian Window B Project yang menyebut hutan mangrove di Batu Ampar berpotensi akan habis dalam puluhan tahun ke depan akibat aktivitas tungku arang, jika tidak ada intervensi dari pemerintah. Laju deforestasi hutan mangrove di Batu Ampar seluas 486,06 hektare per tahun pada periode tahun 2006 hingga 2020, dari sekitar 60.934 hektare menjadi 54.129 hektare.

Jumlah hutan mangrove kembali menurun menjadi 53.157 hektare di mana sekitar 13,72 juta kilogram (13.720 ton) arang dari kayu bakau dihasilkan pada tahun 2022. Untuk menghasilkan satu ton arang dibutuhkan empat ton kayu bakau. Artinya, dari total produksi arang tahun lalu itu maka terdapat lebih dari 54,8 juta kilogram (kg) pohon bakau yang ditebang. Berdasarkan hasil perhitungan ekologi penelitian itu, laju ekstraksi mangrove mencapai sekitar 1,4 ton per hektare per tahun lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan yang hanya sebesar 0,9 ton per hektare per tahun di mana membutuhkan waktu 15 tahun untuk pulih.

Ketua tim penelitian arang bakau Window B Project dari IPB, M. Arsyad Al Amin, mengatakan, terdapat beberapa skenario hutan mangrove di Batu Ampar berpotensi hilang akibat aktivitas tungku arang. Skenario pertama adalah dengan kondisi tungku saat ini 490 unit dan jumlah produksi arang bakau sebesar 13.720 ton per tahun. "Dengan kondisi existing produksi dan mangrove tumbuh alami, maka hutan mangrove di Batu Ampar akan habis dalam waktu 74 tahun mendatang, yaitu tahun 2096," kata Arsyad mengutip hasil kajian yang telah dipaparkan dalam Rapat Pokja REDD+ Kalbar Februari 2023 lalu.

Skenario kedua adalah terjadi penambahan lima tungku setiap tahun sehingga pada tahun 2084 menjadi 800 unit, namun jumlah produksi masing masing tungku tetap. "Maka kemampuan hutan mangrove untuk menyediakan bahan baku hanya akan bertahan selama 62 tahun," tambah Arsyad. Skenario selanjutnya adalah peningkatan produksi satu ton per tungku setiap 10 tahun, dari rata rata empat ton pada tahun 2022 menjadi tujuh ton pada tahun 2064, "Ini akan lebih cepat lagi habis hutan mangrove, hanya akan bertahan 42 tahun," kata Arsyad.

Skenario terburuk adalah kombinasi penambahan tungku dan peningkatan produksi, "Maka hutan mangrove di Batu Ampar habis dalam 34 tahun, yaitu tahun 2056," ujar Arsyad. "Lalu apabila asumsi kebutuhan kayu untuk produksi arang setiap tahunnya tetap dan di angka 38.400 ton kayu per tahun. Maka, kayu jenis R. apiculata ini diperkirakan habis pada 28 tahun ke depan," tambahnya. "Jadi, apabila tidak dilakukan upaya percepatan dengan rehabilitasi dan intervensi maka akan berbahaya. Jadi perlu ada intervensi dengan kondisi sekarang," kata Arsyad.

Berangkat dari temuan itu, Arsyad mengatakan, perlu dilakukan upaya mencari mata pencaharian alternatif bagi masyarakat agar mereka tidak lagi menjadikan arang mangrove sebagai satu satunya gantungan hidup. "Pengembangan seperti arang batok kelapa, budidaya kepiting bakau, madu mangrove, virgin coconut oil (VCO), budidaya ikan tirus dan kakap putih, dan lainnya, yang disertai dengan pelatihan, pembukaan pasar, pendampingan teknis, manajemen, dan pasar," kata Arsyad. Kemudian, jika belum terciptanya mata pencaharian alternatif, tambah Arsyad, maka perlu dilakukan pembatasan produksi arang dengan sistem kuota dan kontrol harga sehingga ekstraksi mangrove dapat dibatasi.

"Lalu dilakukan legalisasi izin usaha sehingga menjadi instrumen kontrol di mana arang mangrove menjadi komoditas eksklusif, bukan komoditas bebas," katanya. Di balik potensi ancaman hilangnya hutan mangrove itu, Nurhadi yang telah menekuni pekerjaan arang sejak kecil mengatakan, hasil dari tungku ternyata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Bahkan katanya, terdapat beberapa pemilik arang terlilit utang karena gagal panen arang.

Dia menjelaskan, biaya produksi tungku tiga ton arang mencapai Rp10,6 juta, sementara penjualan maksimal hanya sekitar Rp13 14 juta, dalam waktu 40 hari produksi. "Usaha tungku arang ini tidak bisa memperkaya diri. Mana ada orang naik haji karena arang, tidak ada. Kami hanya untuk makan sehari hari dan bertahan hidup. Kami ini tidak punya pilihan," kata Nurhadi. Nurhadi mengatakan, petani arang Batu Ampar berada di persimpangan dilema antara kebutuhan perut sehari hari dan minimnya lapangan kerja.

Dia bercerita, pernah ada pejabat daerah yang bertanya ke dirinya, "Apakah siap untuk berhenti dari usaha arang?" Nurhadi menjawab, "Kalau ada lahan tani, atau lapangan pekerjaan lain, besok lusa saya siap berhenti tebang bakau. Untuk apa tebang bakau, tidak ada untung, habis buat makan saja," katanya. Menurut penelitian Window B Project, biaya produksi arang kayu mencapai Rp2.860,25 per kg.

Jika harga jual arang kayu rata rata Rp3.200 per kg maka keuntungannya hanyalah Rp339,75 per kg. "Berdasarkan analisis ekonomi kami, bisnis ini sebenarnya sangat memprihatinkan buat masyarakat secara ekonomi karena nilai manfaatnya sangat kecil," ujar Arsyad dari IPB. Arsyad yang merupakan ahli manajemen pesisir itu menambahkan, pihak yang paling diuntungkan ada di level distribusi, yaitu tengkulak dan eksportir yang menjual dengan harga tinggi.

Berdasarkan hasil wawancara, Arsyad menemukan bahwa arang itu mayoritas diekspor ke Jepang, China, Korea Selatan, Hong Kong, hingga Eropa. Sayangnya, katanya, saat ditelusuri lebih lanjut timnya tidak dapat 'menembus' jalur distribusi ekspor arang bakau dari Batu Ampar itu, ujar Arsyad. "Kami hanya sampai ke gudang di sini [Batu Ampar], tapi dalam gudang sendiri tidak bisa ini [dimasuki], jadi relatif tertutup untuk ekspor ini. Kami juga tidak berhasil dapatkan klarifikasi baik dari Bea Cukai maupun Kementerian Kehutanan," tambahnya.

Selain proses distribusi yang disebut tertutup, Arsyad dan tim juga tidak menemukan kategori arang mangrove dalam data perdagangan ekspor saat melakukan kajian regulasi secara nasional. Direktur Yayasan Hutan Biru (YHB), Rio Ahmad mengatakan, arang bakau tidak ditemukan dalam komoditi ekspor karena diduga digabungkan dengan kelompok produk arang lain. "Ini bahaya karena ketika pemanfaatnya belum ada izin legal dan pemasarannya dihilangkan asal usul, jadi ada bias kontrol dan potensi penyelewengan di situ," ujar Rio.

Lanskap Manajer Yayasan IDH Kalimantan Barat, Lorens, mengatakan ketidakjelasan aturan tersebut membuat pendapatan negara dari arang mangrove menjadi 'abu abu'. "Jadi kalau dalam nomenklatur perdagangannya, arang bukan dianggap produk hutan. Penerimaan negara terhadap ini [arang bakau] menjadi tidak ada," kata Lorens. Untuk itu Lorens mengatakan, harus ada penertiban dan penataan rantai pasok arang bakau, "Seperti siapa yang berwenang, masuk dalam komoditas hutan atau non hutan, dan bagaimana mekanisme perdagangannya," tambah Lorens.

Seorang pekerja arang, Rahmat Yani terlihat tengah mengayunkan gergaji mesin untuk membersihkan ranting ranting kayu bakau yang menumpuk di depan tungku milik Nurhadi. Pria berusia 22 tahun yang menyelesaikan pendidikan terakhirnya di sekolah dasar (SD) itu mengaku telah bekerja di tungku arang selama lima tahun. "Tidak ada kerja lain selain arang bakau ini. Pendidikan saya juga tidak tinggi, jadi hanya kerja ini yang saya mampu, seperti terperangkap lah di sini, mau bagaimana lagi," keluh Rahmat yang berpenghasilan sekitar Rp1,3 juta per bulan dari arang.

Senada dengan yang diungkapkan Nurhadi dan penebang lain yang kami temui, Rahmat berharap ada lapangan pekerjaan lain di desanya sehingga bisa beralih dari tungku arang yang dia sebut memiliki risiko kecelakaan kerja tinggi dan melanggar hukum karena mengambil kayu dari hutan lindung. Rio Ahmad dari Yayasan Hutan Biru melihat, tungku arang merupakan tumpuan hidup paling mudah bagi masyarakat Batu Ampar dan wilayah pesisir lain karena "mereka dapat langsung pekerjaan cepat, murah, dan tanpa modal sama sekali" di tengah tingkat pendidikan dan kemampuan yang terbatas. Dari total sekitar 9.245 penduduk Desa Batu Ampar, terdapat 1.613 orang tidak selesai SD, lalu 2.867 yang hanya tamat SD, dan 1.437 tamat SMP. Sementara, hanya 820 orang yang tamat SMA, dan 59 orang tamat S1, dan hanya satu orang tamat S2.

Dari jumlah tersebut, kelompok usia produktif Desa Batu Ampar dari usia 15 tahun hingga 55 tahun berjumlah lebih dari 63%. Di sisi lain, terdapat juga petani arang yang kini mengaku bertobat. Suheri, 39 tahun, berhenti dari aktivitas itu sekitar 10 tahun lalu. Suheri mengatakan, dia kini fokus menggali potensi hasil hutan non kayu di Batu Ampar, seperti madu dan ikan tirusan.

"Di tahun 2013 terjadi kebakaran gambut dan ada kabut asap di desa kami. Jarak pandang cuma 70 meter. Saat itu saya berpikir, kalau mangrove yang kebakaran, kami akan hancur. Saya langsung hijrah," kata Suheri di rumah panggungnya. Kami pun mengikuti perjalanan Suheri mengambil madu di tengah hutan mangrove. Menyusuri sungai, mata Suheri dengan cermat melihat pohon pohon mangrove. Sekitar satu jam mencari, Suheri lalu menunjuk sebuah sarang madu kepada kami.

Dengan menggunakan metode panen lestari, yaitu menyisakan sebagian sarang lebah untuk dapat berkembang kembali, Suheri dengan cepat menyusun alat asap yang diambil dari daun daun nipah. Hanya menggunakan pelindung muka dan tongkat asap, dia memanjat pohon yang disambut dengan sengatan lebah yang beterbangan. "Resiko ambil madu itu banyak, seperti lumpur, binatang binatang buas ular, buaya. Resiko kecil paling ya disengat lebah itu," katanya yang telah terjatuh tiga kali saat mengambil madu.

Hari ini dia cukup beruntung. Dalam 15 menit Suheri bisa mendapatkan sekitar lima botol madu yang bila dijual seharga Rp150.000 masing masingnya. Namun, penghasilan tersebut kata Suheri tidak bisa menjadi 'pegangan hidup' karena musim panen yang tak tentu. Selain madu, dia juga mencoba melakukan pembesaran ikan tirusan di belakang rumahnya, yang diambil gelembung renangnya. Harganya, kata Suheri cukup menggiurkan yaitu dapat mencapai puluhan juta rupiah.

Tapi, usaha yang dilakukan secara otodidak ini penuh risiko, kata Suheri, karena belum ada penelitian khusus dari pemijahan hingga pembesaran ikan tirusan. "Bibit ikan tirusan kita beli mahal, modalnya besar dan potensi mati juga besar," katanya. Suheri juga pernah mencoba untuk mengembangkan usaha kepiting bakau Batu Ampar dengan rekan petani arang lain, namun usaha itu harus gulung tikar karena dihantam pandemi Covid 19.

Walau menghadapi beragam kendala, Suheri mengaku tetap menjauh dari tungku arang. "Kalau saya mau mengajak orang berubah, saya harus terbukti berhasil sehingga bisa memotivasi petani arang yang lain," katanya. Di tengah upayanya mengembangkan potensi non kayu hutan mangrove Batu Ampar, Suheri mengaku tidak ada sentuhan dari pemerintah merangkul petani arang.

Padahal, katanya, terdapat hampir 4.000 orang atau mencapai 40% masyarakat di Batu Ampar yang mengantungkan hidup kepada tungku arang di tengah minimnya lapangan pekerjaan. Dia mengatakan, para petani arang yang dia sebut bekerja 'untuk sekedar cari makan' hidup dalam kesendirian, tanpa ada perhatian dari pemerintah. "Kalau pemerintah sudah sempat sosialisasi, mungkin ke pemerintah atau petinggi desa, tapi tidak sampai ke masyarakat dan petani petani arang," katanya.

Hal senada juga diungkapkan Zainudin, 49 tahun, mantan pekerja arang yang kini menjadi nelayan pembubuh kepiting. "Kerja seharian dapat maksimal dua kilo, dan harganya jauh menurun. Buat bahan bakar saja sudah setengahnya, belum lagi umpan dan lain. Jadi buat makan saja hasilnya kurang," katanya. Zainudin pun berharap agar pemerintah mengembangkan potensi kepiting yang menjadi keunggulan desanya, seperti bantuan pemodalan, kontrol harga, hingga akses pemasaran yang mudah.

Sejak Februari 2017, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menetapkan hak kelola hutan Desa Batu Ampar seluas 33.140 hektare, di mana sekitar 27.000 adalah area mangrove. Namun hingga kini, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Batu Ampar, Hermansyah mengatakan, kekayaan hutan non kayu masih minim memberikan manfaat ke masyarakat. "Dampak ekonomi dari hutan desa belum begitu signifikan karena masih banyak kendala di lapangan, seperti budidaya perlu pelatihan, pemodalan, dan pemasaran yang baik," kata Hermansyah.

Terkait keluhan masyarakat tersebu, Herbimo Utoyo dari Pemda Kubu Raya mengatakan, pemerintah daerah telah dan terus menginkubasi usaha usaha mikro masyarakat Batu Ampar. Herbimo mengatakan, upaya upaya yang dilakukan, berupa pengelolaan madu, gula aren, dan produk lain, serta budidaya perikanan seperti ikan tirusan. "Memang belum tampak keberhasilan karena kami yakin isu keberlanjutan itu proses panjang, mengubah mindset masyarakat dan kami perlu melakukan terus walau masih trial and error ."

"Tapi, saya yakin dalam jangka panjang inkubasi ini akan lebih menciptakan komoditas komoditas baru, atau mengintensifkan sumber daya lokal," kata Herbimo. Di sisi lain, Herbimo juga mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa langsung melarang berhentinya aktivitas arang karena ada area hutan mangrove yang boleh dimanfaatkan. "Selain itu, kami juga memperhatikan dari sisi turun temurun. Jadi tidak bisa langsung diberhentikan, tapi dengan upaya mencari alternatif mata pencaharian baru," katanya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalimantan Barat, Adi Yani mengatakan, permasalahan petani arang adalah mengambil bahan baku di area yang dilarang, seperti hutan lindung. Terkait permasalahan itu, Adi Yani mengatakan, UPT KPH Wilayah Kubu Raya telah berkoordinasi dengan KLHK untuk mencarikan solusi. Berdasarkan Peta Mangrove Nasional oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2021, total luas mangrove Indonesia saat ini sebesar 3.364.076 hektare.

Luasan itu menjadikan Indonesia sebagai negara dengan hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove Indonesia juga memiliki 40 dari 54 spesies mangrove sejati (true mangroves) yang menjadikannya sebagai keanekaragaman terkaya di dunia, dikutip dari Bank Dunia. Walaupun demikian, di luar jumlah itu, Badan Restorasi Mangrove dan Gambut (BRGM) menyebut ada sekitar 700.000 hektare hutan mangrove yang mengalami deforestasi.

Presiden Joko Widodo dalam pidato di forum One Ocean Summit 2022 menegaskan bahwa pemerintah telah dan sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar sampai dengan tahun 2024. Pada 15 Mei lalu, Jokowi bersama para pembantunya melakukan penanaman mangrove bersama di Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Jakarta. Dalam kesempatan itu, Jokowi mengatakan, "Kita tahu, kita memiliki mangrove terluas di dunia, 3,3 juta hektare hutan mangrove kita terbesar di dunia. Itu yang harus kita rawat, kita pelihara, kalau di tempat tempat yang kritis kita tanami kembali sehingga jangan sampai ada hutan mangrove yang rusak."

Upaya rehabilitasi pemerintah itu salah satunya tidak lepas dari potensi pendapatan yang bisa diperoleh dari perdagangan karbon mangrove. Menurut perhitungan KLHK, ekosistem mangrove dapat menyimpan karbon tiga hingga lima kali lebih banyak dari hutan daratan biasa. "Karbon yang tersimpan di ekosistem mangrove Indonesia diperkirakan mencapai 3,0 Gton CO2e. Kemudian karbon yang tersimpan di mangrove dan padang lamun di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 3,4 Gton CO2e, sekitar 17% dari simpanan blue carbon di dunia," dikutip dari KLHK.

BRGM memprediksi jumlahnya lebih besar di mana penyimpanan karbon mangrove Indonesia mencapai 1.083 megaton CO2. Bahkan penelitian lain menyebut, mangrove di Indonesia menyimpan sekitar 3,1 miliar ton karbon setara dengan emisi gas rumah kaca dari pemakaian sekitar 2,5 miliar kendaraan bermotor selama satu tahun. Dilansir dari situs Sekretariat Negara, harga jual karbon dunia berkisar Rp75.000 sampai Rp150.000 per ton CO2.

Dengan luas hutan mangrove maka pemerintah mengaku bisa mendapat uang hampir Rp2.400 triliun dari perdagangan karbon. Jumlah itu akan 'lebih tebal' lagi jika menghitung 125,9 juta hektare hutan tropis yang dapat menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton dan juga 7,5 juta hektare lahan gambut yang mampu menyerap sekitar 55 miliar ton. "Mengakumulasi tiga hal tersebut, maka Indonesia bisa menyerap setidaknya 113 gigaton emisi karbon. Jika dijual dengan perhitungan terendah US$5, maka pemerintah berpotensi menambah pendapat negara mencapai US$565 miliar atau sekitar Rp8.000 triliun," dikutip dari Setneg .

Dilansir dari situs KLHK, profesor dari IPB dan peneliti CIFOR, Daniel Murdiyarso mengatakan, nilai ekonomi ekosistem karbon biru, seperti mangrove dapat mencapai lebih dari Rp1,35 miliar (US$90.000) per hektare, mulai dari kemampuan menyerap lingkungan, pencegah abrasi hingga industri perikanan dan ekowisata. Menurut penelitian Bank Dunia, mangrove di Indonesia memiliki nilai total tahunan sekitar Rp751 juta per hektare. Namun, menurut WALHI yang mengutip data BRGM hanya sekitar 33.000 hektare mangrove yang direhabilitasi pada tahun 2021, atau 5,5% dari target nasional.

Degradasi mangrove yang terjadi di Batu Ampar, dan wilayah lainnya di Indonesia menunjukkan fakta yang kontradiktif dengan program rehabilitasi pemerintah itu, kata Rio Ahmad, Direktur dari Yayasan Hutan Biru. "Jika kita lihat di seluruh Indonesia, tren pemanfaatan lahan di wilayah mangrove kini tidak kalah masifnya," katanya. Dalam 20 tahun terakhir, Indonesia kehilangan hampir 13.000 hektare mangrove setiap tahunnya.

Aktivitas tungku arang di Batu Ampar hanyalah satu dari banyak penyebab kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia, tambah Rio Ahmad, di mana kontribusi terbesar berasal dari akuakultur seperti tambak ikan, dan pembangunan wilayah pesisir. Rio juga mengkritisi langkah pemerintah yang dia sebut hanya fokus 'menanam', tanpa mencari alternatif lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir untuk mengurangi tekanan pada mangrove. "Kami melihat belum dihadirkan aspek aspek selain upaya rehabilitasi. Bagaimana menghadirkan solusi solusi nilai pemanfaatan mangrove yang ke jangka menengah dan panjang bagi masyarakat," kata Rio.

Diperkirakan terdapat 120 juta orang yang tinggal di ekosistem mangrove di Indonesia, di mana sebagai besar menggantungkan mata pencaharian pada mangrove. Di tengah potensi triliunan rupiah yang dimiliki hutan mangrove di Indonesia, masyarakat pesisir Batu Ampar yang mengantungkan hidup pada tungku mengaku masih akan terus menebang hingga membakar kayu bakau demi Rp300 di setiap kilogram arang sampai muncul alternatif pekerjaan.

Kiriman serupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *